danmenurut saya pribadi ( sebagai pengamat militer kelas amatir, level abal-abal:D) inilah alasan kenapa kini peran drone UAV lebih diperhitungkan di medan perang besar dari pada pesawat tempur : kemampuan UAV (tipe tertentu) untuk terbang dan beroperasi lebih lama, dibandingkan dengan pesawat tempur.; kemampuan drone (tipe tertentu) untuk terbang sangat tinggi atau sangat rendah sehingga Penyebabdrone jatuh tiba-tiba ( faktor utama) Pada artikel singkat ini kami akan membocorkan rahasia kenapa drone anda baik itu brand dji, mjx, maupun drone rakitan sendiri bisa jatuh secara tiba-tiba ketika sedang terbang di udara berikut ini faktor-faktor yang dapat membuat drone anda fall out the sky secara tiba-tiba : - Voltase baterai Tidakhanya selesai membuat bodi, Thombi dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone bisa terbang nyaris sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji coba di lokasi latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat. Memang menerbangkan Super Drone yang baru jadi tersebut tidak bisa sembarangan. adabanyak sebab kenapa drone bisa seperti itu. Bisa karena kompas yg tidak dikalibrasi, masalah software, atau yang lainnya. Kami tentu perlu memeriksa secara langsung penyebab drone Sandi mengalami demikian. Jika berkenan untuk melakukan pemeriksaan, silakan kontak DJI Experience Store Yogyakarta di nomor WhatsApp 0813-8282-2882. Reply Demialasan penting ini, sayap mengalami pengurangan secara progresif, yang membuat berenang lebih efisien dan saat dipakai terbang sebaliknya. Ini bisa jadi jawaban mengapa pada saat itulah kemampuan penguin untuk terbang berangsur-angsur lenyap. Sato yang merupakan ahli ekologi di National Geographic Society Emerging Explorer ini juga Namun bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan, yang paling penting selanjutnya adalah menerbangkan dengan perasaan. Layaknya mengendarai motor atau mobil, perkiraan-perkiraan sangat penting agar drone terbang dengan stabil. Gunakan perasaan untuk memperkirakan terbangnya drone melalui transmitter yang B'Nerz pegang. . DJI Indonesia – Masalah drone tentu dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi para penggunanya. Sebab, apabila masalah ini cukup besar berpotensi pada kerusakan drone dan bisa saja drone terjatuh saat dioperasikan. Namun, hal itu dapat dicegah dan diminimalisir dengan mengetahui penyebabnya. Masalah Drone yang Sering Muncul1. Permasalahan Pada Baling-Baling2. Sinyal GPS yang Terhalang3. Masalah Drone – Arah Terbang yang Tidak Normal4. Masalah Pada Baterai5. Lensa yang Buram dan MengembunPenutup Masalah Drone yang Sering Muncul Penyebab masalah drone yang kerap kali muncul biasanya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal drone itu sendiri. Melansir dari berbagai sumber, berikut beberapa permasalahan yang sering muncul dan cara mengatasinya. 1. Permasalahan Pada Baling-Baling Baling-baling merupakan salah satu bagian terpenting agar drone dapat terbang dengan baik. Meski begitu, baling-baling atau propeller juga rentan terkikis karena hal tertentu. Termasuk mengalami kerusakan ringan seperti tercuil, hingga patah maupun bengkok saat terkena benturan. Maka dari itu, periksa secara berkala kondisi baling-baling saat akan diterbangkan. Pastikan semuanya dalam kondisi baik dan tidak mengalami kerusakan sekecil apapun. Gantilah baling-baling ketika terdapat masalah. 2. Sinyal GPS yang Terhalang Hampir semua drone termasuk drone DJI, dilengkapi dengan sistem GPS yang sudah terintegrasi. Namun, dalam pengoperasiannya terkadang sinyal GPS drone bisa mengalami masalah seperti terhalang atau bahkan hilang. Permasalahan tersebut biasanya dikarenakan penerbangan berada di yang cukup luas, atau melebihi jarak jangkau sinyal. Begitu juga dengan faktor geografis, seperti gedung-gedung tinggi, perbukitan dan pegunungan bisa menghalangi sinyal GPS drone. Mengatasinya, cobalah untuk menerbangkan di area terbuka dan saat cuaca dalam kondisi cerah. Baca juga 10 Tips Mencegah Drone Menabrak atau Jatuh 3. Masalah Drone – Arah Terbang yang Tidak Normal Sinyal GPS yang hilang atau terhalang menjadi masalah drone yang tak kalah seriusnya. Sebab, hal itu dapat membuat arah terbang menjadi abnormal. Ini disebabkan kalibrasi kompas tidak sesuai. Biasanya, selain karena sinyal GPS terhalang, faktor lainnya adalah drone terganggu sumber magnetik maupun frekuensi radio. Maka, sebaiknya hindari meletakkan drone dengan sumber elektromagnetik yang cukup kuat. Misalnya saja adanya sinyal dari kabel listrik maupun tower sinyal seluler. Jangan lupa juga untuk memperhatikan remote controller drone. Pastikan kalibrasi dan setting-nya sudah benar. 4. Masalah Pada Baterai Permasalahan krusial lain ialah pada baterainya. Drone umumnya memiliki waktu terbang selama 30-40 menit di udara. Namun, terkadang terdapat masalah pada baterai sehingga berpengaruh terhadap durasi penerbangan. Apabila hal itu dibiarkan, permasalahan baterai bisa membuat daya semakin menurun bahkan tidak dapat berfungsi. Agar daya baterai tetap prima, sebaiknya lepas charger saat mengisi daya ketika sudah penuh. Kemudian, saat baterai telah digunakan hingga lebih dari 80% Anda perlu menghentikan pengoperasian drone dan isi daya kembali menggunakan charger original. Jangan lupa untuk selalu merawat dan menyimpan baterai drone di tempat yang aman. 5. Lensa yang Buram dan Mengembun Masalah terakhir ialah lensa yang buram atau mengembun. Misalnya pada drone DJI Mavic series ketika digunakan. Penyebab utama masalah ini biasanya adalah faktor cuaca yang dingin, sehingga lensa mengembun. Begitu juga dengan menerbangkan pada ketinggian tertentu. Untuk mengeringkannya, Anda bisa menghangatkan suhu di area drone saat tak digunakan. Ini bisa dilakukan dengan blower, dan pastikan berada pada jarak aman sekitar 30cm dan lakukan perlahan. Cara lainnya adalah, masukkan drone di tempat yang kering dan mampu menyerap kelembapan dengan bahan kimia seperti silica gel. Lalu, tutup tempat tersebut dalam beberapa saat. Baca juga 5 Cara Mudah Mengatasi Lensa Drone Mengembun Penutup Masalah drone di atas meski tidak sering terjadi, namun hal itu cukup mengganggu operasional. Terlebih pada saat drone diterbangkan untuk merekam objek-objek penting. Oleh karena itu, ada baiknya selalu menggunakan spare part dan aksesoris drone original dari seperti aksesoris drone DJI yang bisa Anda dapatkan di authozied dealer DJI Surabaya, DJI Semarang, dan DJI Jakarta di Doran Gadget. Semua produk yang kami jual merupakan barang original dengan garansi resmi dari pabrikan. Informasi mengenai pembelian dan pemesanan, hubungi CS kami via WhatsApp di sini. Jangan lupa ikuti kamu di Instagram dan Telegram untuk informasi promo menarik di waktu tertentu. Artikel terkait Stricter rules on drone flight may seem jarring for pilots who have been flying their drones for close to a decade, but the current climate created by increased accessibility to drones have made them necessary. Not only are drones normally restricted from flying in controlled airspace, but they must also stay away from crowded areas, be grounded during night-time, and fly only within a 400-foot altitude ceiling. The altitude limit for drone flight remains a particularly ambiguous rule because of the exceptions and the lack of compliance. Because of this, some drone manufacturers have started to implement a software-based limitation on their drones that prevents them from gaining more than 400 feet altitude. How exactly does this feature work? What’s the basis of the 400-foot rule? The rule that sets a maximum altitude of 400 feet for drone flight has been around for quite some time yet has been quite contentious up until a few years ago. The rule is based on the minimum cruising altitude of manned aircraft, which is 500 feet. The FAA deems that the 100-foot buffer is enough to avoid close encounters between manned aircraft and drones. The rule is particularly crucial in areas where helicopter flight is common because helicopters tend to fly at low altitudes. Since we’re on the topic of the cruising altitude of the manned aircraft, it’s worth mentioning that this minimum cruising altitude also varies based on the topography right underneath an aircraft’s flight path and the presence of large, man-made structures. For instance, a helicopter flying over a large skyscraper will set a minimum cruising altitude that is 500 feet above the skyscraper. Sectional charts typically indicate the height of the tallest obstacle in an area so that pilots know how to adjust accordingly. As we shall see later, this information is critical to determining the specific mechanics of the 400-foot rule on drone flight and the corresponding exceptions Are there different rules for professional and recreational drone pilots? Let’s tackle the altitude rule for recreational drone pilots first because it’s much simpler. Before the FAA Reauthorization Act of 2018, the rules that governed recreational drone flight were simply called “guidelines,” making them prone to non-compliance. However, implementation of the rules became required when the FAA Reauthorization Act was passed. Among the new rules was the limitation to fly under 400 feet in uncontrolled airspace and a blanket restriction for flight in controlled airspace. While there is now a way to request for authorization to fly in controlled airspace, the 400-foot rule has stayed in place and has no provision for being granted a “waiver” for. There are also no exceptions to the 400-foot rule for recreational drone pilots. For commercial drone pilots licensed under Part 107, the rule is quite similar with one major difference according to the rule, a pilot can fly their drone above 400 feet if they are within 400 feet of a structure. The exception was added so that commercial drone pilots can offer services such as inspection of cell towers, skyscrapers, and industrial equipment. The justification is that manned aircraft will still clear of these tall structures, making it perfectly fine for drone to fly around them at higher altitudes. Licensed drone pilots are also expected to be skilled enough to handle such circumstances. Are there drones that prevent you from flying above 400 feet? For the most part, compliance with the 400-foot rule is a voluntary matter. There is no existing mechanism for the FAA to monitor if there are drone pilots, licensed or otherwise, who will fly above this altitude limit. That is well and fine until you get into a close encounter with a manned aircraft, for which you could be facing heavy penalties if the FAA can identify you as the drone pilot. To help in compliance with this rule, most high-end drones sold today come with a default max altitude setting equivalent to exactly 400 feet. The drone measures this from the point where you take off, so it’s possible to be at the top of a skyscraper and fly within 100 feet of the take off point even if you are already well above 400 feet measured from the ground. This isn’t a problem because this type of operation falls under the exception of flying near a tall structure. A common example of this technology in practice is in the DJI drones, such as those from the Mavic line. If you dive deep into its settings, you will see that the maximum altitude is set by default to 120 meters or 400 feet. If you attempt to fly beyond this limit, the drone will simply stop gaining any more altitude and just hover in place. The problem with this approach is that it doesn’t take into consideration the presence of any large structures within 400 feet of the drone which would have allowed drone flight beyond 400 feet. Of course, the drone has no means to detect or confirm the presence of such a structure, so it merely sticks to its pre-set limits. To give drone pilots a bit of flexibility, most drones allow the maximum altitude limit to be changed. In the case of DJI drones, the limit can be changed to any value between 2 to 500 meters. Changing the limit will prompt you to confirm that you accept all responsibilities related to the change of the altitude limit. If your drone comes with a developer kit, then you can disable the 500-meter max limit. Obviously, this is a solution that requires much more work and isn’t something you can do in the middle of a planned drone flight mission. Other drone brands set different max altitude values. Yuneec drones can go up to 1000 meters and Autel drones can go up to 800 meters. Changing these limits is only a matter of updating the drone firmware so these values could easily already be inaccurate by the time this article has been published. However, if you have a brand-new drone from a reputable brand, chances are that its altitude limit has been set to the default value of 120 meters or 400 feet. Should you be flying above 400 feet? All this discussion begs the question is there a compelling reason for flying above the 400-foot limit? If you fly drones professionally, then there are several drone jobs that will require you to alter the default altitude limit on your drone. You might be commissioned to take aerial photos of a tower, or to inspect the underside of a bridge. In both these examples, you’re flying within proximity of a structure which puts you in the clear both in terms of legal restrictions and airspace safety standards. How about recreational drone pilots? With no applicable exceptions, they seem to be getting the short end of the stick when it comes to altitude restrictions. However, the capacity to go beyond the 400-foot limit within the proximity is one of the privileges that the FAA grants to Part 107-licensed drone pilots should they need the exception to provide their drone flight service. On the other hand, recreational drone pilots probably have no business flying around industrial equipment or communications towers, especially if they have no permission from the owners or operators of these critical pieces of infrastructure. Ultimately, the 400-foot altitude limit was put in place for the sake of airspace safety. The airspace beyond 400 feet is large and the chances of running into another aircraft are astronomically low, but the potential consequence of a drone crashing into a manned aircraft can be disastrous. We’re sure that no drone pilot would want to be the cause of a tragedy at that scale. Final thoughts The altitude limit on drone flight has been and remains to be a point of great controversy among drone communities. Recreational drone pilots went from treating this “guideline” as a mere suggestion to having to follow newly enacted regulations with no exception. On the other hand, Part 107-licensed drone pilots are expected to follow this rule to the letter but enjoy the privilege of a few exceptions subject to certain conditions. If you’re flying a drone from any of the reputable brands today, then you may have already noticed a firmware-bound feature that limits the altitude to which your drone can fly. This limit isn’t set in stone – practically all drones let you change the limit, possibly in anticipation of professional drone pilots needing the flexibility. - Pesawat tanpa awak atau drone sudah kian marak dipakai. Pesawat nirawak itu sudah dipakai oleh perorangan, lembaga atau komunitas untuk mendokumentasikan gambar, video dari drone sudah terasa di Indonesia. Munculnya beberapa komunitas drone bisa menandai antusiasme orang Indonesia untuk menggunakan drone. Pilot drone bisa memakai pesawat nirawak untuk leluasa menjelajahi udara. Tapi sejak pertengahan Mei 2015, kebebasan itu terancam. Drone tak lagi bebas mengudara. Musababnya adalah keluarnya aturan penggunaan drone yang ada pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awal di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Permenhub ini mengatur, terdapat sejumlah kawasan yang sama sekali tidak ada yang boleh ada yang terbang di atasnya atau diistilahkan sebagai prohibited area. Contohnya adalah Istana ada juga restricted area atau kawasan terbatas. Kawasan ini seperti instalasi militer, yang penerbangan harus ada izin khusus. Kemudian ada juga kawasan keselamatan operasi penerbangan seperti bandar udara, yang mana setiap penerbangan harus melalui mekanisme air traffic controller yang berada di bawah Kementerian drone dibolehkan di wilayah yang disebut controlled airspace yang berada di bawah ketinggian 150 meter dari permukaan. Jika terbang di luar wilayah itu, harus mendapatkan izin dari Kementerian Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto, mengatakan pertimbangan keluarnya Permenhub itu adalah soal keselamatan penerbangan. Dengan banyaknya drone yang terbang tinggi ratusan meter, harus diatur, agar tidak menganggu lalu lintas penerbangan. "Sebab dikhawatirkan ada helikopter yang umumnya terbang sekitar 1500 kaki 457 meter. Dikhawatirkan akan ada insiden dengan helikopter. Jadi pertimbangannya ya saol keselamatan penerbangan," ujar Novie kepada Jumat 18 September mengatakan ketentuan batas ketinggian 150 meter mengadopsi aturan lembaga penerbangan sipil internasional, International Civil Aviation Organization ICAO. Batas ketinggian tersebut juga sudah sesuai dengan lingkungan ketentuan penerbangan di Indonesia. Selain keamanan untuk tidak menganggu penerbangan komersil, kata Novie, pembatasan ketinggian terbang juga akan menghindari kemungkinan buruk lainnya. Misalnya, drone yang dikendalikan melebihi jarak 150 meter, maka berpotensi lepas kendali. "Kalau terlalu tinggi itu terus bisa hilang, kalau begitu terus gimana," kata batas ketinggian penerbangan drone tersebut menuai pertanyaan dari kalangan jurnalis foto. Eddy Hasby misalnya, fotografer Kompas ini mengaku kerap menggunakan drone untuk mendapatkan sudut pandang yang dibutuhkan terbang maksimal 150 meter, bagi Eddy, bakal kerap diterobos jurnalis di lapangan. Menurutnya, dalam pratiknya selama ini, ia menerbangkan drone melebihi ketinggian maksimal 150 meter. Eddy mencontohkan rekaman drone yang dilakukan medianya saat peliputan pembukaan Tol Cikopo-Palimanan jelang lebaran lalu. Untuk mengambil gambar dari atas persimpangan di tol terbaru tersebut, drone harus diterbangkan melampaui 150 meter. Selain soal aturan ketinggian maksimal, persoalan izin untuk menerbangkan drone juga dipertanyakan. Apalagi bagi jurnalis dalam keadaan peristiwa darurat yang memerlukan perekaman atau pengambilan gambar dari udara. Dengan ketentuan harus meminta izin jika menerbangkan drone di atas 150 meter, maka kerja jurnalis diperkirakan akan terhambat oleh aturan tersebut. Terkait dengan hal ini, Novie mengatakan batas ketinggian 150 meter merupakan batasan yang sudah cukup bagi jurnalis termasuk dalam pengambilan gambar sebuah peristiwa darurat. "Saya rasa tidak ada sesuatu yang penting di atas 150 meter ya. Ini kan hitungannya 150 meter di atas laut lho ya," katanya. Untuk itu, Novie menegaskan prinsipnya semua penerbangan drone di atas 150 meter harus mengajukan izin ke Kementerian Perhubungan. Sesuai ketentuan, jika menerbangkan di bawah 150 meter bisa dilakukan tanpa izin sepanjang di wilayah yang tak dilarang sesuai ketentuan Permenhub tersebut. Novie mengatakan jangan khawatir kepada para pilot yang akan menerbangkan drone. Sebab ia memastikan proses perizinan bisa keluar dalam waktu singkat, yaitu antar 3-4 hari. Proses ini malah lebih cepat dari ketentuan yang dicantumkan dalam Permenhub tersebut yang mana perizinan memakan waktu 14 hari kerja. "Paling lambat seminggulah. Izin ke kita saja, nanti kami lihat ada ganggu penerbangan atau nggak. Kalau enggak ya dinotifikasikan," kata Permenhub tersebut ditetapkan pada 12 Mei 2015, Novie mengatakan Kemenhub telah menerima pengajuan perizinan menerbangkan drone. Secara umum perizinan drone dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak banyak yang mendapatkan penolakan. "Kita keluarkan untuk beberapa tempat. Tapi ada yang enggak kita keluarkan, soalnya ada yang izin dekat di dekat Bandara Gorontalo. Kita batasi," kata dia. Penetapan peraturan tersebut juga menjadi perhatian bagi komunitas drone yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Drone Indonesia APDI. Ketua Harian APDI, Fajar Yusuf mengatakan secara prinsip asosiasinya setuju dengan pembatasan penerbangan dalam ketinggian maksimal 150 meter. Sebab APDI juga mengakui pentingnya keselamatan penerbangan harus menjadi perioritas. Namun APDI menyoroti beberapa poin dalam Permenhub tersebut. "Soal perumusan normanya. Isi besarnya baik ya, untuk mengatur keamanan penerbangan, tapi ini dirumuskan tak sempurna," kata dia. Fajar memahami aturan pelarangan penerbangan pada restricted area memang diterapkan dengan mempertimbangkan pertahanan dan keamanan, tapi menurutnya area terbatas itu cakupannya luas, bahkan lintas provinsi. Ia mengatakan jika membuka peta, wilayah yang disebutkan restricted area mencakup sampai ke Jogjakarta dan Solo. "Apa memang maunya kita menerbangkan drone untuk di halaman rumahnya saja, di Jogja atau Solo itu tidak boleh lagi terbangkan. Itu kan berlebihan," kata dia. Seharusnya, Fajar mengatakan, dalam penerapan area terbatas tersebut dilakukan per zonasi, yaitu ada area yang diperbolehkan, ada yang tidak diperbolehkan untuk menerbangkan drone. Wilayah yang perlu dilarang untuk penerbangan drone yaitu bandara, terutama bandara yang mana beroperasi jet tempur nasional. Hal itu untuk mengurangi potensi drone yang mengganggu jet tempur yang terbangnya mencapai ribuan kaki. "Akan lebih masuk akan kalau ada perbatasan wilayah udara, misalnya radius 6 Km. Di luar wilayah itu bsia diperbolehkan terbang" ujarnya. APDI juga menyoroti keharusan mengajukan izin terbang saat pilot atau operator akan menerbangkan drone pada ketinggian lebih dari 150 meter, yang harus mengurus ke Kementerian Perhubungan di Jakarta. Hal ini menurutnya akan merepotkan. Sebab selama ini, perizinan menerbangkan pesawat nirawak sudah pernah dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. Lantas dengan keluarnya Permenhub, berarti pilot drone akan meminta izin juga mengkritik saat mekanisme izin penerbangan drone yang belum jelas, Kemenhub sudah ancang-ancang untuk membuat regulasi tentang keselatan penerbangan sipil. Ia yakin jika demikian, aturan keselamatan penerbangan sipil itu akan makin tidak jelas, sebab menurut APDI, Permenhub Nomor 90/2015 saja masih ada banyak hal yang harus direvisi. "Karena regulasi nanti Kemenhub akan atur semua drone, semua jenisnya dan harganya, bobotnya harus diregistrasi dari pemerintah. Ini seperti kode PK dalam pesawat terbang," kata dia. APDI dalam hal ini menolak asas pukul rata semua drone harus disertifikasi dan diregistrasi. Aturan sertifikasi idealnya diterapkan untuk drone yang memiliki spesifikasi tinggi misalnya dari sisi bobot dan kemampuan pemerintah pukul rata semua jenis drone, maka yang muncul adalah overregulated. "Misalkan nanti ada yang beli drone di Pasar Gembrong pasar tradisional di Jakarta, masak mainan anak-anak harus registrasi," tuturnya. Soal sertifikasi drone, Kemenhub mengakui hal itu. Kementerian yang dipimpin oleh Ignasius Jonan itu mengaku sedang menggodok aturan keselamatan penerbangan sipil. Dalam peraturan itu nanti, kata Novie, akan diatur drone dengan basis bobot sampai kualifikasi pilot drone. Gambaran aturan ini, kata dia, bisa seperti regulasi yang berlaku di Eropa. Novie mengatakan di Benua Biru untuk drone dengan bobot 200 Kg harus mendapatkan sertifikasi, perawatan laiknya pesawat terbang."Misalnya untuk drone yang bobotnya 15-20 Kg cukup di registrasi saja," kata mengatakan idelnya untuk sertifikasi drone dan pilot harus ada pembedaan. Drone wahana berat yang berbobot di atas 25 Kg dan beroperasi di atas 150 meter itu yang seharusnya menjadi wilayah pemerintah. Dibawah itu sebaiknya, kata APDI, tidak dikenakan izin maupun sertifikasi kompetensi pilot drone, Fajar mengatakan sebaiknya diserahkan ke asosiasi profesi. Nantinya setelah lolos dari ujian asosiasi, maka pemerintah akan menerbitkan izin pilot. Dahului ASFajar mengatakan rencana pemerintah mengatur registrasi dan sertifikasi drone terlihat ingin mendahului Amerika Serikat yang mana merupakan pusat industri drone. Di Negeri Paman Sam, kata dia, aturan soal registrasi dan sertifikasi masih dalam bentuk draf dan akan dilegalkan sekitar 2020. Draf tersebut masih dalam perdebatan dan saat ini masih diujipublikkan. Ia menambahkan draf pengaturan drone di AS membedakan benda terbang sipil dalam dua bentuk, pertama aero modeling dengan kualifikasi bobot bendanya ringan dan kemampuan terbang bisa sampai 500 kaki, sedangkan benda terbang kedua yaitu drone yang memiliki kemampuan di atas aero modeling. "Peraturan kita ke depan bisa sama ratakan itu, kita enggak ada perbedaan benda terbang ringan dan berat sampai operasinya di atas 150 meter," jelasnya. Untuk itu ia berharap sebaiknya aero modeling ditetapkan maksimal benda terbang yang memiliki bobot 25 Kg sedangkan drone di atas 25 Kg. "Nggak masalah soal lisensi atau sertifikasi, tapi ini untuk yang 25 Kg dan yang mampu terbang di atas 150 meter," tuturnya. Terkait izin drone, praktik yang ada di Amerika Serikat pun diterapkan untuk kemampuan yang tinggi. Fajar mengatakan ada tiga hal yang mengharuskan pilot drone di negara adidaya itu harus mengajukan izin yaitu selama pilot menggunakan wahana terbang berat, pilot mengoperasikan di atas 150 meter dan operasi drone untuk kepentingan dari Swnewsmedia, Jumat 18 September 2015, untuk penerbangan diatur oleh Federal Aviation Administration FAA. Lembaga ini merupakan otoritas penerbangan nasional Amerika Serikat. FAA mengatur untuk kepentingan rekreasi, drone harus diterbangkan tidak lebih dari 400 kaki. Pertimbangnnya agar drone tidak menganggu operasi pesawat berawak saat menghubungi bandata atau menara kendali. Aturan FAA membatasi drone di sekitar bandara harus dioperasikan setidaknya 6 mil dari bandara. Untuk kepentingan komersial, pilot drone atau entitas bisnis harus mendapatkan otorisasi dari FAA, yang dikenal dengan 'Section 333 Exemption'. Setiap lembaga bisnis yang ingin memakai drone untuk komersil. FAA mensyaratkan entitas itu harus mendapatkan sertifikasi otorisasi yang akan membatasi ketinggian terbang drone. Entitas bisnis juga akan mendapatkan nomor identifikasi dari otoritas setempat dan harus mengajukan lisensi operator komersil. Sedangkan untuk lembaga pemerintah yang memakai drone juga harus mengajukan permohonan sertifikasi otorisasi. Permohonan tidak berlaku untuk lembaga penegak hukum. Untuk konteks izin menerbangkan drone di Indonesia, Fajar berpendapat seharusnya jangan berbasis kepentingan komersil. Drone yang bobotnya kurang dari 25 Kg meskipun dilakukan untuk kepentingan komersil tidak layak untuk diharuskan minta izin. "Kita lihat di rezim perikanan. Nelayan kapal tradisional saja enggak perlu izin untuk tangkap ikan. Itu bisa kok," ujar dia. Sindrom Ahmed MohamedPeraturan drone yang berpotensi overregulated bisa memupuskan potensi pengembangan bidang teknologi mutakhir tersebut. APDI melihat drone bisa memicu kreativitas, meningkatan kemampuan teknologi anak bangsa serta juga mendukung pengembangan industri kreatif. Fajar mengatakan saat ini, sudah banyak anak sekolah di Indonesia yang meminati sekolah robot. Ia khawatir pembatasan terlalu ketat dalam potensi drone bisa melahirkan sindrom Ahmed Mohamed, bocah di AS yang terkekang kreativitasnya akibat kasus jam rakitannya. Dengan adanya regulasi yang membatasi pengembangan drone, maka akan berdampak pada potensi anak kecil di Indonesia yang sudah bisa merakit. "Kalau ada regulasi membatasi, ya mereka bisa rakit tapi enggak bisa diterbangkan. Ini hambat kreativitas untuk lebih menguasai teknologi. Regulasi ini harusnya hindari orang jadi gagap teknologi," kata dia. Drone mengatakan pesawat terbang ini juga tidak hanya digunakan oleh kelangan pegiat saja. Drone dipakai oleh profesional industri kreatif untuk mendukung pariwisata dengan merekam keindahan alam Indonesia. Pesawat nirawak ini juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pembangunan sektor agraria dalam hal penyebaran benih sampai pengawasan tumbuhan. "Ini juga bisa dipakai untuk mendukung kebijakan pemetaan," katanya. Doran Gadget – Terkadang ketika menerbangkan drone, pilot pernah mengalami kendala tertentu. Salah satunya adalah drone yang turun sendiri saat terbang dan tidak stabil. Hal ini akan berdampak pada manuver drone. Jika tidak segera ditangani drone dapat jatuh dan terbentur. Lantas, apa saja penyebab drone tidak stabil dan bisa turun sendiri saat terbang? Berikut ulasannya yang perlu Sobat Doran ketahui. Penyebab Drone Tidak Stabil1. Faktor Kondisi Cuaca2. Sensor Drone yang Bermasalah3. Penyebab Drone Tidak Stabil – Jangkauan Transmitter4. Center Gravity5. Penyebab Drone Tidak Stabil – Part yang DigunakanKesimpulan dan Penutup Penyebab Drone Tidak Stabil Ada lima faktor utama yang seringkali menjadi penyebab drone tidak stabil dan turun sendiri saat terbang. Baik itu faktor eksternal yang ada pada drone maupun karena faktor dari eksternal. 1. Faktor Kondisi Cuaca Faktor yang pertama adalah karena kondisi cuaca saat drone diterbangkan. Salah satunya adalah faktor kecepatan angin di udara. Terlebih lagi angin yang berlawanan dengan arah penerbangan drone. Memang, ada drone yang tahan angin, namun hal itu terbatas untuk kecepatan angin tertentu saja. Apabila melebihi batasannya, maka drone akan tidak stabil. Kemudian, kondisi seperti cuaca yang terik dan berembun atau kabut juga berpengaruh. Ketika drone diterbangkan dalam kondisi yang terik, akan berdampak pada komponen yang cepat panas pula dan meningkatkan kinerja. Inilah yang membuat daya baterai cepat habis dan tak stabil. Begitu pun saat kondisi berkabut, dikhawatirkan air bisa masuk ke celah-celah kecil komponen dan berpengaruh. Baca juga 5 Masalah Drone yang Sering Terjadi dan Solusinya 2. Sensor Drone yang Bermasalah Selanjutnya adalah mengenai sensor pada drone. Flight controller drone terdapat beberapa sensor penting seperti giroskop, barometer, dan akseleromete, hingga magneto. Sensor giroskop yang pendek membuat drone terbang lebih stabil. Khususnya dalam hal kontrol dan informasi. Apabila salah satu sensor drone tidak bekerja dengan baik, akan membuat kinerja sensor lainnya menjadi tidak optimal untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan. Termasuk dalam mengatur kecepatan putaran rotasi drone saat berada di udara. 3. Penyebab Drone Tidak Stabil – Jangkauan Transmitter Ketiga ialah masalah jangkauan dari koneksi transmitter. Seperti yang kita ketahui bersama, transmitter merupakan penghubung sinyal dari controller ke pesawat drone. Kinerja transmitter akan lebih baik jika tidak ada halangan dari kondisi sekitarnya. Baik itu bentang alam seperti perbukitan, pepohonan, dan objek lain seperti gedung bertingkat, bangunan tinggi, serta lainnya. Itu artinya, semakin banyak penghalang tersebut maka transmitter menjadi tidak optimal. Sinyal pun akan terganggu, terlebih lagi jika banyak interferensi sinyal. Misalnya sinyal dari jaringan radio lainnya. Tentu hal tersebut dapat mengacak dan merusak frekuensi sinyal drone dan membuat pengontrolan lebih susah. Sehingga, drone tidak bisa terbang dengan stabil. Baca juga 5 Penyebab GPS Drone Tidak Terkoneksi dan Cara Mengatasinya 4. Center Gravity Faktor yang penting diperhatikan lainnya adalah center of gravity. Bisa dibilang istilah tersebut adalah posisi dimana drone sejajar dalam posisi yang benar-benar tepat. Jadi, pastikan drone tidak terlalu miring ke sisi kiri maupun kanan saat diterbangkan. Maka, Anda dapat mengubah posisi ketika terlalu miring tersebut sesegera mungkin. Cek pula apakah drone memiliki berat di bagian tertentu sehingga membuatnya miring sendiri walaupun sudah dikontrol menggunakan controller. Dengan begitu, dapat terhindar dari kemiringan dan drone berada dalam posisi center of gravity yang tepat. 5. Penyebab Drone Tidak Stabil – Part yang Digunakan Penyebab drone tidak stabil dan sering turun sendiri yang terakhir bisa jadi karena aksesoris dan spare part yang digunakan. Misalnya part tersebut mengalami kerusakan karena benturan atau terdapat partikel atau kotoran yang menempel di bagian komponen tertentu. Sebagai contoh flight controller yang terkena benturan tentu akan berpengaruh terhadap sensitivitas manuver dan pengendalian. Oleh karena itulah, selalu lakukan perawatan dan pembersihan komponen drone secara berkala. Apalagi ketika terkena benturan atau crash. Di sini beberapa cara yang dapat digunakan seperti menyemprot secara perlahan dengan kompresor, membersihkan bagian dengan alkhohol dan diusap menggunakan kain khusus atau tisu. Lalu, pastikan juga komponen lainnya dalam kondisi stabil dan tidak panas setelah diterbangkan. Baca juga 10 Tips Mencegah Drone Menabrak atau Jatuh Kesimpulan dan Penutup Itulah beberapa alasan dan penyebab drone tidak stabil dan dapat turun sendiri ketika terbang. Maka dari itu, sangat penting bagi Anda untuk mengecek segala kondisi sebelum menerbangkannya. Mulai dari kondisi drone dan melihat faktor eksternal yang dapat menghalangi kinerja drone. Jangan lupa untuk selalu produk drone terbaik dan aksesorisnya dari DJI yang bisa didapatkan di Doran Gadget. Semua produk yang kami jual merupakan barang asli dengan garansi resmi pabrikan. Ada pula berbagai program dan promo yang bisa Anda dapatkan dalam setiap pembelian melalui store, website, dan aplikasi Doran Gadget. Informasi lebih lanjut, hubungi CS kami via WhatsApp di sini.

penyebab drone tidak bisa terbang tinggi